Chapter 09 - Aku dijemput oleh istriku dan berbagi payung dengannya

Penerjemah : DuJu

    Suatu hari, ketika aku pulang dari pekerjaan paruh waktuku di bioskop tempat pusat perbelanjaan, hujan turun.
    Di bawah lampu-lampu jalan yang menerangi malam, tetesan-tetesan air hujan terlihat bersinar indah.

    "Uwa... Astaga..."

    Aku tak mengecek ramalan cuaca hari ini, jadi payungku tertinggal di sekolah.

    Ada jalan kecil yang tertutup dari pusat perbelanjaan ke Stasiun Tsujido, tapi masalahnya adalah setelah turun di jalur Tokaido di Stasiun Ofuna.
    Aku menatap langit malam, tak ada satupun bintang dan bulan yang terlihat karena tertutup awan tebal.

    "Sepertinya tak akan berhenti, nih."

    Sambil menghela napas, aku tetap pergi ke stasiun.
    Aku bisa saja membeli payung di supermarket di stasiun, tapi rasanya tak nyaman menyimpan payung plastik di rumah.
    Riko baru saja membersihkan pintu masuk akhir pekan lalu.
    Karena itu, aku tak bisa menaruh barang sembarangan di sana.

    Tak ada pilihan lain.
    Asalkan hujannya tidak deras, aku bisa lari.
    Jaraknya tak terlalu jauh, jadi aku tak akan basah kuyup.

    Namun, tak sesuai dengan ekspetasiku, hujan yang membasahi jendela kereta semakin meningkat.

    Ah...
    Kurasa aku beli payung saja di supermarket...

    Dengan perasaan kecewa, aku berjalan melewati lorong dan keluar dari gerbang tiket selatan.
    Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku.

    "Minato-kun...!"

    Terkejut, aku mendongak lalu melihat ke arah orang-orang yang sedang memegang payung dan berjejer di depan dinding Lumine yang sudah tutup. [TL: 'Lumine' itu mall (pusat perbelanjaan) di Jepang...]
    Itu adalah pemandangan yang selalu kulihat dalam perjalanan pulang saat hujan.
    Tapi kali ini, aku menemukan Riko di pinggir, memegang payung bercorak bunga merah dengan kedua tangannya.

    Eh?
    Kenapa......

    Riko bergegas menuju ke arahku, setelah aku melihatnya.

    "Tiba-tiba hujan turun, jadi aku datang untuk menjemputmu karena kupikir Minato-kun pasti tak membawa payung." [Riko]

    Di hari yang hujan, seseorang yang kau cintai datang menunggumu.
    Aku tak pernah membayangkan kalau diriku bisa menjadi tokoh utama dari pemandangan yang biasa kulihat dengan rasa iri itu...
    Setelah rasa terkejut, rasa sukacita perlahan menghampiriku.

    "......Terima kasih." [Minato]

    Sambil menahan rasa malu serta gembira, aku berterima kasih padanya. Mendengar ucapanku, dia terkikik dan terlihat sangat bahagia seperti seekor Chihuahua yang dipuji.

    Ahh... Imutnya...

    Damagenya terlalu besar hingga tanpa sadar aku terdorong mundur.

    Tapi kulihat-lihat.
    Riko, kau hanya membawa satu payung, bukan...?
    Satu-satunya yang ada di tangannya hanyalah payung imut yang sama dengan payung yang terbang di langit pada saat pertama kali kami berbicara di hari bersalju.

    ...Ah, tentu saja.
    Riko tak membawa payungku karena aku meninggalkannya di sekolah.

    Tapi kenapa dia tetap datang menjemputku?
    Jangan-jangan...

    "Ayo kita pulang!" [Riko]

    Dengan senyum di wajahnya, Riko mulai berjalan.
    Aku mengikutinya dengan perasaan bingung.

    Kami berjalan melewati kantor tiket dan menuruni eskalator ke lantai dasar.
    Setelah melewati lampu lalu lintas, kami mengambil jalan yang menuju ke Ofuna Shotengai lalu belok kanan menuju bundaran bus. [TL: Shotengai itu kek jalanan yang di kanan-kirinya itu ruko (rumah toko) semua... Semacam pasarlah...]
    Dan di sinilah atap di atas kami berakhir.

    Riko melepaskan kancing payung merahnya dan membuka payungnya dengan cepat, lalu menatapku.

    "Minato-kun, ayo masuk." [Riko]

    "......" [Minato]

    I-ini...
    Riko berniat pulang sambil berbagi payung denganku.
    Aku tak pernah berpikir kalau ada juga kemungkinan seperti ini, jadi aku tak menduga ini akan terjadi...

    Menyisakan ruang kecil di sampingnya, Riko menungguku dan memberi isyarat kecil.
    Aku terdiam melihat pemandangan yang luar biasa.

    Bagaimana aku bisa muat di ruang sekecil itu......
    Jika kami berdua berlindung di bawah payung itu, mau tak mau lengan dan bahu kami pasti akan saling bersentuhan.
    Walaupun kami tinggal bersama dan sudah menikah, kami biasanya tidak sedekat itu.

    ......Aku tak bisa menggerakkan kakiku.
    Haruskah aku beli payung saja di supermarket?
    Tidak, itu sama saja aku menghancurkan niat baiknya yang sudah jauh-jauh datang untuk menjemputku.

    Aaaa, aku tak bisa.
    Melihatku mematung, Riko memiringkan kepalanya dengan heran.

    "Ada apa? Kamu tidak mau pulang?" [Riko]

    "......Ayo pulang." [Minato]

    Ayolah.
    Jika aku masih ragu, itu akan terlihat mencurigakan.
    Jika dia tahu kalau aku merasa malu berbagi payung dengannya, mungkin dia akan berpikir, "Aku tak bermaksud seperti itu, tapi kenapa kau peduli dengan itu? Itu menjijikkan...".

    Yosh.
    Mari kosongkan pikiran.
    Dan berhati-hati untuk tidak menyentuhnya saat berjalan nanti.

    Mengambil napas dalam-dalam, aku mengangkat kakiku yang seberat besi dan bergerak dengan canggung di sampingnya.
    Tak apa-apa, tak ada bagian tubuhku yang menyentuhnya.
    Namun, sebelum kami mulai berjalan, Riko menegurku.

    "...Minato-kun, kamu bisa basah jika tidak mendekat lagi, loh?!" [Riko]

    "Gi-gimana sekarang?  Sepertinya tidak akan basah..." [Minato]

    "Dengan separuh badanmu keluar?" [Riko]

    Ya, itu mustahil sih...

    "......Jika terlalu dekat, aku takut menyenggolmu." [Minato]

    "Maaf payungnya terlalu kecil...... ‒‒Tapi kalau kamu menyenggolku itu tak masalah, tahu?" [Riko]

    Riko menambahkan itu dengan sedikit malu.
    Sial, ini malah menjadi lebih sulit dibanding dia tak peduli sama sekali.

    Tapi Riko sedang menungguku, jadi aku harus mencoba yang terbaik untuk mendekat.

    Tak bisa...
    Sama saja, lenganku tetap berada di luar.

    "Etto, aku juga bergeser sedikit kalau begitu......" [Riko]

    "Tunggu, tunggu. Kalau gitu...... Ri, Riko... Malah sebagian tubuhmu yang akan keluar nanti." [Minato]

    Sejak dua hari yang lalu, aku mulai berani memanggil namanya.
    Aku sudah berhasil memanggilnya "Riko" di dalam hati, tapi jika mengatakannya langsung, aku masih gugup.

    Tapi terlepas dari itu, kami dalam masalah sekarang.
    Tak mungkin kami berdiri di tengah-tengah hujan terus-terusan.

    Kami saling menatap dengan tatapan bertanya.
    Kemudian mata Riko berubah menjadi tatapan yang seolah-olah telah memutuskan sesuatu, lalu dengan segera dia mendekatiku.

    "Minato-kun, tolong bawakan payungnya!" [Riko]

    "Ah, y-ya?" [Minato]

    "Lalu aku......!" [Riko]

    Tanpa sadar aku menerima payungnya.
    Dan tepat setelah itu...

    "Eh? Uwaa?!!" [Minato]

    Tubuhnya yang lembut menempel di lengan kananku.
    Ketika aku mencoba menariknya, dia meraih lenganku dan memegangnya erat-erat dengan kedua tangannya.
    Detak jantungku meningkat dengan cepat.

    "Eh? Uwaa?!! A, kekekenapa...?!" [Minato]

    "Minato-kun, aku menangkapmu..." [Riko]

    "......" [Minato]

    "Kupikir jika aku tak melakukan ini, kamu akan kabur dariku dan basah kuyup nantinya..." [Riko]

    Riko mengatakan itu dengan wajah merah cerah sambil meremas lenganku.
    Dari wajahnya yang merah, aku tahu dia sangat malu.

    "Yosh... Aku tak akan melepaskannya sampai kita sampai rumah, loh...? Jadi ayo kita pulang, oke...?" [Riko]

    Yang kubisa lakukan hanyalah menggelengkan kepalaku lalu mengangguk lagi.


    Wajahku mungkin sama merahnya dengan Riko sekarang.
    Tak seperti gadis yang terlihat imut, kurasa wajahku terlihat menjijikan sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, tak mungkin aku bisa tetap menjaga ekspresiku tetap normal dalam situasi ini.

    Berbagi payung itu, sungguh menakutkan...





<<  ==  >>

0 Komentar