Chapter 11 - Dia memberikanku keberanian ketika aku tak percaya diri (Bagian 1)

Penerjemah : DuJu

    Jam menunjukkan pukul 21:30 malam.
    Setelah bekerja paruh waktu, aku berdiri di depan kamar 707 dan merasa gugup lebih dari biasanya.

    Ayo tenang.
    Santai saja, bersikaplah seperti biasa.

    Aku mengambil napas dan menekan bel interkom.
    Dengan segera, terdengar suara lucu Riko dan pintu terbuka.

    Seperti biasa, dengan senyuman dan ucapan "Selamat datang kembali", Riko mengulurkan tangannya untuk mengambil tasku.
    Tapi cukup hari ini.
    Aku tak bisa memberikan tasku.

    "Aku akan membawanya sendiri! Ini ringan, loh! Jadi kau tak perlu membawakan tasku lagi. Terima kasih sebelumnya." [Minato]

    Aku mengutarakan kata-kata yang telah kusimulasikan berkali-kali di pikiranku. Tapi mendengar itu, Riko mengedipkan matanya berkali-kali dengan mata sedih.

    "Etto...  Maaf aku tak tahu... kalau kau tak suka itu..." [Riko]

    "A-ah?! Bu-bukan... Bukannya aku tak suka, hanya saja aku merasa itu salah... Dan juga, aku punya alasan tersendiri hari ini..." [Minato]

    Tunggu.
    Jangan menunduk dan memasang wajah lusuh seperti itu, dong.
    Aku tak tega melihatnya.

    "Itu bohong! Aku hanya bercanda! Kau boleh membawanya, kok!" [Minato]

    Itu adalah kata-kata putus asa dari seorang pria yang mencoba melakukan sesuatu tanpa berpikir ketika melihat seorang gadis yang akan menangis.
    Aku sering melihat seorang istri yang mengkritik suaminya karena hal itu di Twitter, tapi tolong mengertilah... Wahai gadis-gadis...

    Riko tak menyalahkanku, tapi dia menggelengkan kepalanya dan meminta maaf lagi sambil berkata, "Maaf karena sudah memaksa...".

    Mengingat betapa pedulinya Riko padaku, aku merasa malu.
    Lalu apa yang kulakukan?
    Aku hanya bisa bertindak tanpa berpikir dan dengan mudah menyakitinya.

    Lupakan tasnya.
    Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain selain minta maaf dengan tulus.

    "......Maaf. Aku sungguh minta maaf. Mulai sekarang, bisakah kau membawakan tasku selamanya...?" [Minato]

    Aku menundukkan kepalaku dan meminta maaf dengan tulus.
    Kemudian, Riko yang berdiri di depanku terlihat terpukau.

    "Selamanya...?" [Riko]

    Ah.
    Astaga...!
    Aku mengucapkan hal yang bodoh lagi...!

    Aku mengangkat kepalaku dengan tergesa-gesa, tapi entah kenapa kulihat telinganya memerah dan menutup mulutnya karena terkejut.

    Eh.
    Kenapa reaksinya begitu?

    "Apa itu boleh...?" [Riko]

    Meski aku tak paham apa yang terjadi, tapi aku tahu jawaban yang benar untuk itu adalah "Ya".

    ......Yosh.

    Ketika aku berkata "Ya" agar tidak menyakiti Riko, dia berjongkok di tempat dan bergumam, "Uwaa... Ini seperti mimpi...".

    Aku merasa melayang di luar angkasa, dan kurasa aku terlihat seperti kucing yang pupil matanya melebar sekarang.

    "Ah, tidak...... A-aku terlalu berlebihan...... Aku jadi malu...... Aku minta maaf karena sudah bersikap menyebalkan..." [Riko]

    "Tidak..." [Minato]

    Walaupun aku masih bingung dengan apa yang terjadi, aku bersyukur telah memberikan jawaban yang bagus kepada sosok yang sangat imut ini.
    Tapi bukan saatnya memikirkan hal itu.

    "...Segitu inginnya kah kau mau membawakan tasku?" [Minato]

    Dengan malu-malu, Riko berulang kali menarik rambutnya ke belakang telinganya.

    "Aku ingin melakukan sesuatu untuk Minato-kun yang lelah sehabis bekerja paruh waktu... Dan juga, ini terlihat seperti seorang istri sungguhan, tahu...? Makanya aku sangat senang melakukannya..." [Riko]

    Jawab Riko sambil tertawa.

    "A-apa itu seperti... seorang gadis yang mendambakan menjadi seorang pengantin?" [Minato]

    Seperti anak laki-laki yang ingin menjadi pilot merasa terkesan ketika duduk di kokpit atau anak perempuan yang ingin menjadi guru merasa gembira ketika berdiri di depan kelas.
    Mungkin perasaan seperti itu.
    Aku tak tahu ada seseorang yang mendambakan menjadi "seorang istri" di zaman sekarang ini, tapi cuma itu satu-satunya alasan yang bisa kupikirkan.

    Riko merengut dan menurunkan alisnya pada pertanyaanku.

    "...Menjadi seorang istri itu tidak penting bagiku, tahu...... Tapi kalau kau berpikir seperti itu, ya tak apa." [Riko]

    "Tidak penting?" [Minato]

    "Hmfftt, bukan apa-apa. Lupakan saja...! Gimana pekerjaanmu hari ini? Pasti ramai karena hari ini Couple's Day, bukan?" [Riko]

    "Ah, benar. Tapi pergantian pemutaran filmnya agak gila tadi, jadi tak terasa terlalu ramai. Mungkin Ladies'day nanti bakal lebih ramai lagi." [Minato]

    Jauh lebih mudah untuk mengobrol seperti ini daripada membicarakan apa yang dipikirkan satu sama lain.
    Tentu, Aku tak bisa bilang aku tak gugup sama sekali.
    Dan cara berbicaraku pun tetap sama, perkataanku masih terbata-bata.
    Meski begitu, Riko selalu mendengarkanku dengan antusias dan walaupun ceritaku membosankan, dia tetap tertawa bahagia.

    Yah, aku tak bisa melarangnya membawakan tasku lagi.

    "Ah! Lebih baik kau membawa tasku secara vertikal hari ini..." [Minato]

    "Vertikal? Seperti ini?" [Riko]

    "Ya, seperti itu. Terima kasih." [Minato]

    Kalau kau tanya, kenapa harus dibawa dengan posisi vertikal?
    Aku menuju kamar untuk berganti pakaian sebelum makan malam, dengan tergesa-gesa, aku memeriksa isi tasku sebelum melepas seragam.
    Di bagian bawah tas, ada sebuah kotak yang masih berada persis seperti saat kumasukkan sebelumnya.

    "Syukurlah... Ini tidak hancur..." [Minato]

    Gumam diriku, sambil dengan hati-hati mengambil kue strawberry yang kubeli di supermarket saat pulang tadi.

    Aku ingin berterima kasih pada Riko atas apa yang telah dia lakukan untukku.
    Namun, aku tak tahu harus berbuat apa.
    Hari-hari berlalu begitu saja, tapi akhirnya aku mendapat ide untuk membelikannya sesuatu.

    Tapi aku tak tahu sama sekali apa yang disukai Riko.
    Memang, cara yang tercepat adalah dengan bertanya pada orangnya apa yang dia suka.
    Namun, itu hanya berlaku jika orang itu bukanlah seorang gadis yang kau suka.

    Kau pasti tahu betapa sulitnya bertanya apa yang disukainya pada gadis yang kau suka...!
    Kau pasti takut jika menanyakan itu, perasaanmu akan terungkap, kan?

    Pada akhirnya, aku ingat ketika Riko membeli kue untuk merayakan "Hari Jadi Aku Memanggil Namanya".
    Saat itu, Riko terlihat sangat menikmati kue tersebut.
    Aku tak tahu apa dia menyukainya, tetapi kurasa dia tak membencinya.

    Karena itu aku membeli kue ini...

    Aku melihat ke bawah ke kotak yang kuambil dan tiba-tiba aku merasa cemas.
    Tutup plastik transparannya terlihat murahan.

    Waktu kulihat di konter meja bagian manisan di supermarket, shortcake ini terlihat menarik dibandingkan dengan puding dan mousse cokelat, serta terasa istimewa.
    Namun, kue yang kubeli dengan harapan membuat dirinya bahagia ini, tampak sangat menyedihkan dan tak menggugah selera di bawah lampu neon kamarku.

    ......Gimana ya ngomongnya, biasanya orang-orang beli kue di toko kue, ya?
    Betul sekali.
    Bahkan kue yang dibeli Riko memiliki kotak putih yang mewah.

    [TL: wkwk... dia beli kuenya di supermarket dong...]

    Kenapa aku tak memperhatikan hal sepele seperti itu?
    Tidak, aku tahu alasannya.
    Itu karena, aku belum pernah membeli kue untuk seseorang selama ini.

    ......Aku tak bisa memberikannya ini sebagai ucapan terima kasih.
    Siapapun yang menerima kue seperti ini, pasti tak tahu harus bereaksi seperti apa.

    "Tak ada pilihan lain. Saat Riko mandi, aku harus memakan semuanya sendiri. Huft...... Kenapa aku beli dua, ya...." [Minato]

    Ketika aku bergumam pada diriku sendiri sambil menurunkan bahuku, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
    Gawat......!
    Itu Riko.





<<  ==  >>

0 Komentar